Sejarah Desa
Rumah Kepala Desa |
Asal usul nama Sokobanah punya cerita sebagai berikut : leluhur kita
bernama Pangeran Romo (Pangeran Tjokro Negoro ke-II) beliau manjadi raja atau
adipati Sumenep tahun 1700 M-1702 M dan kawin dengan R.Ay. Gumbrek. Pangeran
Romo adalah putra dari Pangeran Gatot kotjo (Adikoro ke-I) Pamekasan. Ibunya
bernama R. Ay Otok . Pangeran Romo
tjokro negoro ke II berputar sbb :
1. R.Ay
Ratnadi ( R. Tumenggung wiro menggolo ) yaitu Ratu di Sumenep tahun 1705-1707
SM.
2. R.
Ahmad (Pangeran jimat atau tjokro Negoro ke III) memerintah di Sumenep pada tahun
1707-1730 SM. 3. R.Ay Rasmana (
Ratu tumenggung Tirtonegoro) yang kawin dengan Bindara saut (R. Tumenggung
Tirtonegoro) yang memerintah di Sumenep
pada tahun 1737-1762 M sedang R.
Ay Ratnadi kawin dengan pangeran
Purwonegoro (R.tumenggung Wiro menggolo) memerintah tahun1705-1707 dan
mempunyai putra dan putri 11 orang.
Pada waktu pemerintahan
Bindara Saut (R.Tumenggung Tirtonegoro)
tahun 1737M yang beristri R.Ay Rasmana (Potre koneng) timbul perselisihan
sesama famili atau keluarga di Sumenep yang disebabkan Bindara Saut dianggap
sebagai rakyat biasa, sehingga para bangsawan banyak yang tidak setuju, hal itu
mengakibatkan banyak bangsawan Sumenep tersebut
berpindah (eksodus) keluar dari Sumenep, ada yang ke Pamekasan , ada
yang ke Sampang dan ada pula yang ke Bangkalan, serta ada yang ke Besuki,
Pasuruan dan Probolinggo . Pada masa bindara
Saut di angkat menjadi tumenggung di
Sumenep pangeran Purwonegoro ke
II putra dari Pangeran Purwonegoro ke I
selaku patih tidak setuju dan beliau akan (hampir) membunuhnya dengan pedang,
ini dibuktikan dengan bekas sabetan pedangnya yang masih ada di Pendopo Asta
Tinggi Sumenep hingga sekarang dan
leluhur kita dari yang 11 orang tersebut
7 orang terpisah, sedangkan yang pindah ke Sokobanah hanya 4 orang
dan berubah nama atau gelar dari
nama aslinya yaitu :
1. Djaga satra (Bujuk mongging I)
2. Djaga Satro (Bujuk Mongging Ke II)
3. Djaga sraba (Bujuk Kenanga Batu ampar Sampang)
4. Djaga Astra (Djujuk labang R. Ario Djaga Astra).
Menurut dawuh dari leluhur atau mbah atau
kakek R. Astro yudha, Djujuk kita lazim dipanggil Djujuk Labang . Panggilan tersebut berdasar
atas jabatan yaitu Labang (pintu
gerbang) menurut keterangan sesepuh kita.
Sokobanah termasuk dibawah panembahan
Bangkalan yang berada
diperbatasan antara Bangkalan dan pamekasan. Pada waktu itu
sebagian rakyat yang tidak menyetujui
pada pemerintahan Bangkalan, kemudian mereka menimbulkan
kerusuhan-kerusuhan disana sini antar rakyat yang pro dan anti panembahan
Bangkalan. Pembunuhan, pencurian dan
bajak laut merajalela sehingga keadaan
tidak aman. Pelopor kerusuhan-kerusuhan tersebut tak lain adalah Djujuk kita bersaudara (4
orang) yang terkenal dan termasyur di
antar 4 bersaudara. Djujuk kita tersebut
bernama Sagatra yang mempunyai 3 saudara
yang kesemuanya laki-laki seperti
tersebut diatas.
Berhubung keadaan di sukosodho terus
menerus tidak aman bahkan semakin parah, akhirnya oleh panembahan Bangkalan diadakan penjagaan yang terdiri dari pasukan/prajurit
(Pajinaman) dan semua penjaga yang ada di Sokobanah, akhirnya membahu dan
mendengar bahwa kepala dari kerusuhan
tersebut adalah Djaga sagatra (Djaga Satra bersaudara) sedangkan prajurit penjaga keamanan dibawah pimpinan seorang
tumenggung bersama-sama rakyat yang pro
padanya serentak mengadakan penangkapan terhadapnya. Tetapi
malang nasib mereka karena perlawanan dari Sagatra Cs yang amat seru dan sengit, sehingga diantara
prajurit-prajurit dan rakyat banyak yang
menemui ajal, luka berat sedangkan yang
lain melarikan diri. Jenasah dari pihak
lawan maupun kawannya oleh Djujuk Sagatra
Cs ditumpuk disebelah utara rumah yang ditempati Camat (Tugu Pahlawan)
yaitu rumah R.Astro Judho disana ada sebidang tanah yang dinamai Palo batang
yang terletak disebelah barat pemakaman Buk Pandan. Tak lama dari kejadian tersebut dengan
diam-diam tiba-tiba Djujuk Sagatra dan Sagatro
(Djaga Sagatro) ditangkap oleh prajurit
yang datang secara sembunyi-sembunyi kemudian ditawan ke Bangkalan.
Sedangkan saudaranya yaitu Sraba (Djaga
Sabra) melarikan diri keselatan dan menurut para sepuh, beliau menuju Batu
ampar, Omben Sampang yaitu yang terkenal dengan Bujuk Kenanga. Justru karena itulah menurut keterangan mbah
atau kakek kita ada pesan dari para
sesepuh, jika ada diantara keturunan Djujuk berselisih dengan orang omben batu
ampar jangan dilayani kuwatir mereka
masih keturunannya. Sedangkan saudaranya
yang termuda ( R.Ario Djaga Astra)
bersembunyi di Sokobanah. Akhirnya
saudaranya yang termuda dan famili-famili yang lainnya ingin sekali mendengar
duduk perkara kedua saudaranya yang ditawan oleh panembahan Bangkalan. Dan kurang lebih 4 bulan dari tertawannya
Djaga Satra dan Djaga Satro maka saudaranya yang termuda (Djaga Astra) bersama
dengan familinya pergi ke Bangkalan naik perahu. Sesudah tiba di Bangkalan, kampung Bandaran
mereka mendengar bahwa dua tawanan yang dari Sokobanah dijatuhi hukuman rajam sampai mati.
Menurut orang yang memberi kabar itu,
setelah tawanan tersebut menderita
kesakitan akhirnya mereka berdua minta kepada para perajam yaitu saudara tertua
(Djaga Satra) minta ditikam dibawah pelernya (kemaluannya) sedang saudara yang
satunya (Djaga Satro) minta ditikam dibawah ketiaknya hingga meninggal. Jadi kelemahan Djaga Satra dan Djaga Satro
adalah seperti tersebut diatas. Setelah
mendengar yang demikian itu, saudara termuda (Djaga Astra) mempunyai pendapat
untuk menghadap panembahan guna mohon ijin agar jenasah dibawa ke Sokobanah. Permintaan tersebut oleh panembahan
diijinkan dan untuk membongkar jenasah
saudara-saudaranya tersebut beliau diantar oleh hulubalang ketempat
pekuburannya di maladjah. Pada waktu
penggalian orang-orang turut meyakinkan dan menyaksikan kagum, sebab jenasah
kedua tawanan Djaga satra dan Djaga
Satro tersebut, walaupun mereka sudah dikubur lebih dari 5 bulan, jasadnya
masih utuh dan tidak membusuk, kemudian setelah itu diangkat keperahu yang
sudah disediakan. Dan sesampainya di Sokobanah semua rakyat menyambut dan
jenasah-jenasah tersebut dikubur kembali kepekuburan mongging yang terkenal
dengan sebutan Bujuk Mongging. Akhirnya
dawuh para sepuh kita bersaudara, saudara Sagatra yang termuda yang kita sebut
dengan Djujuk Labang oleh panembahan Bangkalan diangkat menjadi kepala Jawatan
Labang (pintu gerbang) didaerah Sokobanah dan daerah bagian atau kekuasannya
ada dikecamatan Sokobanah sekarang hingga kedesa Paleh Ketapang.
Pangkat labang pada zaman panembahan berat
sekali karena tanggung jawabnya disegala bidang, baik keamanannya maupun perekonomiannya dan tempat tinggal Djujuk labang tepat
disebelah timur pemakaman Batu Tampe. Dan menurut keterangan para sepuh, tepat didepan
rumah Djujuk Labang diberi pintu gerbang
sebagai tanda rumah jawatan labang.
Pintu (Labang) tersebut ada yang menjaga baik siang maupun malam, bila malam
pintu gerbang tersebut ditutup dan berarti siapapun jika malam tidak
diperkenankan berjalan terus dan harus menunggu hingga siang hari. Djujuk labang (R. Ario Djaga Astro) berputra
tiga orang yaitu :
1. Madin(R. Ario Djaga Judho)
2. Nyai Bira yang kawin dengan Sayyid Abdurrahman dan
3. Nyai
Bella yaitu orang tua dari pak Misari kampung balanan desa Bira Timur dan
mempunyai anak Buk Tahal.
Setelah R.Ario Djaga Astra tersebut
diangkat oleh panembahan Tjokroningrat ke V Bangkalan tahun 1747 M sebagai
kepala jawatan labang, yaitu pintu gerbang perbatasan kraton Bangkalan dan
Sumenep. Sebagai hadiah pada beliau kerena bisa mengamankan pemberontakan yang
ada di desa Suko sodo, atas jasa djujuk kita (R, Djaga Astra) itulah maka
daerah tersebut diberi nama Soka Ba”nah (Suka kamu) dan oleh Djujuk kita
kekuasan tanah pemberian ini diberi nama Soka banah yang sekarang menjadi nama kecamatan
Sokabanah. Karena wilayah Sokobanah sangat luas maka yang posisinya berada
ditengah selanjutnya diberi nama Sokobanah Tengah.
Nama
– nama Kepala Desa yang pernah menjabat di desa Sokobanah Tengah ini adalah
sebagai berikut :
NO
|
NAMA KEPALA DESA
|
TAHUN
|
KETERANGAN
|
1
|
Rizal Andiansyah
|
2008 - 2014
|
|
2
|
M. Kasihuddin
|
1990 – 2008
|
|
3
|
Biarto
|
1975 – 1990
|
|
4
|
Masrukin M. Joyo Astro
|
1940
|
|
5
|
R. Mohammad
|
1905
|
Mau tanya adakah nama Mbah suberni atau Subarna di daerah deng seleber...
BalasHapus